Okeh Amigo... ini ane dapat lagi sebuah resensi buku dari
Majelis Ilmu, lebih tepatnya, resensi ini adalah buah tangan dari Ikha Rifkah... well just cekidot
Judul Buku : Sandiwara Langit
Tebal Buku: 200 halaman
Penulis: Al Ustadz Abu Umar Basyier
Penerbit: Shofa Media Publika
Resensi Sederhana menurut musafir kecil
Saya akan mulai dengan pengantar dari penerbit yang bagi saya cukup
mewakili untuk menggambarkan buku ini, dan berikutnya akan saya tuliskan
beberapa sinopsis singkat dari paragraf-paragraf penting yang terdapat
dalam bab-bab buku ini.
Adalah Rizqaan, tokoh utama dalam buku ini, salah satu contoh, dari
segelintir umat manusia yang secara apik dianugerahi kekuatan dalam
menjalani semua takdirnya, yang teramat berat dan sakit menyayat, namun
begit penuh hikmah na harum dan indah memikat.
“Aku mengagumi seorang mukmin. Bila memperolah kebaikan dia
memuji Allah dan bersyukur. Bila ditimpa musibah dia memuji Allah dan
bersabar. Seorang mukmin diberi pahala dalam segala hal walaupun dalam
sesuap makanan yang diangkatnya ke mulut istrinya.” (Riwayat Ahmad dan Abu dawud)
Ia adalah pemuda shalih, yang berjuang keras menyelamatkan diri dari
fitnah membujang, dengan segera menikah dengan segala keterbatasan yang
ada. Modal belum ada, pekerjaan pun tak punya. Dan Halimah pemudi yang
juga shalihah, putri pak rozaq, seorang pengusaha kaya raya menjadi
pilhannya. Meski dari keluarga apa adanya, sebagai muslim idealis, ia
tak gentar menemui keluarga Halimah, untuk maju meminang. Terkesan
nekat, tetapi begitulah, selama itu adalah kebenaran yang diyakin,
pantang bagi rizqaan untuk bersurut langkah.
Keunikan kisah ini, dimulai ketika pak rozaq mau menikahkan mereka,
namun dengan satu syarat. Bila dalam sepuluh tahu ia tidak bisa “sukses”
(baca: kaya raya menurut barometernya) dan “membahagiakan” Halimah,
maka ia harus menceraikannya.
Ah, hidup memang benar-benar penuh hal tak terduga, yang kadang
begitu sulit dipercaya. Yang tak jarang memaksa kita untuk menerima
realita, bahwa itu memang benar terjadi adanya. Selama sepuluh tahun
itu, mereka makin menemukan cinta sejati, cinta hanya karena dan kepada
Allah semata. Makin kuat, mengakar dan menghebat, lebih dari apa yang
mereka bayangkan sebelumnya. Mengokohkan jiwa mereka dan menhadapi
segala badai yang menerpa, dari kematian ayah Rizqaan dala kebakaran
pabrik, yang juga membangkrutkan usahanya, hingga berujung pada
perceraian yang dipaksakan, demi menepati perjanjian. Atau kisah
kematian Halimah yang begitu dramatis, sampai kebesaran hati Rizqaan
memaafkan ‘dalang’ penyebab kebakaran sekaligus kematian ayahnya.
Yang istimewa, cerita yang tersaji dalam buku ini, adalah pemaparan
kembali dari kisah nyata yang-insyaAllah- benar-benar terjadi, untuk
bersama kita petik hikmahnya. Makin memikat, saat penyusun kisah, Ustadz
kami Abu Umar Basyier Al-maedany, juga menyisipkan dalil-dalil Al
Qur’an dan Assunnah untuk makin memperkuat bahasan.
Sangat berbeda dengan buku “sejenis” yang terlanjur meracuni umat,
dengan kisah fiktif, sandiwara atau satra penuh rekayasa. “Racun”
tersebut semakin kabur dan sulit dikenali, dengan pelabelan Islami yang
sangat dipaksakan, entah itu pada novel maupun cerpen murahan dan
kawan-kawannya. Bagaimanapun, secara umum Islam tidak pernah mengajarkan
dusta untuk mencapai –semulia apapun- tujuannya.
Sinopsis singkat (bagian warna adalah kutipan dari buku)
Pria Muda yang ingin menikah
“Begini ustadz. Usia saya sekarang baru 18 tahun. Namun terus terang,
saya sudah ingin sekali menikah. Saya khawatir terjebak dalam
perzinaan, bila saya harus menunda menikah lebih lama lagi.” Tanpa
sungkan pemuda itu menceritakan keinginannya. Cerita itu sendiri
sejatinya sudah memuat pertanyaan. Namun saya ingin tahu lebih jauh.
Saya biarkan dia terus bercerita.
“Saya sadar, saya masih terlalu hijau untuk menikah. Tapi saya lebih
sadar, bahwa tanpa menikah, saat ini saya merasa tidak kuat menahan
godaan syahwat. Saya telaten puasa dawud satu tahun ini, untuk
menjalankan sunnah Rasul. Gejolak itu memang teredam sebagiannya. Namun
yang masih tersisa begitu kuat. Dan saya merasa tersiksa. Apa saya sudah
layak menikah ustadz?”
Berikutnya terjadi tanya jawab antara pemuda tersebut dan sang
ustadz, seputar pernikahan, kondisi pemuda tersebut yang memang belum
mapan, dan tidak mempunyai pekerjaan, dan kemauan dari calon mertuanya
untuk menikahkan putrinya dengan pemuda yang sudah mapan. Sang ustadz
pun menyarankan agar pemuda tersebut memusyawarahkan hal tersebut dengan
orang tua sang calon.
Kesepakatan atau perjudian?
“Calon mertua saya itu ternyata orang yang berpendirian kuat, tapi
ambisius. Ia bersedia menikahkan saya dengan putrinya, tapi dengan
sebuah tantangan.”
“Tantangan”
“Ya. Ia menantang saya, dengan justru tidak akan membantu kami, bila
kami menikah. Ia memang bukan konglomerat ustadz, tapi hidupnya sangat
berkecukupan. Setidaknya ia bisa membantu kami bila suatu saat kami
hidup kesusahan. Dan ia sesungguhnya tak ingin putrinya hidup serba
kekurangan sepanjang hayat. Tapi bila sudah berkeluarga, ia ingin
putrinya tidak lagi bergantung kepadanya. Ia menantang bahwa dalam
sepuluh tahun saya harus dapat memberi penghidupan yang layak buat
putrinya. Kami sudah harus memiliki kehidupan yang berkecukupan. Bila
tidak, ia meminta saya menceraikannya. Dan uniknya ia meminta hal itu
diucapkan saat akad nikah, sebagai syarat”
Pemuda dan sang ustadz kemudian berdialog tentang hukum adanya syarat seperti itu.
Sosok kedua tokoh utama (dalam 2 bab)
Pada bab berikutnya, digambarkan latar belakang kehidupan pemuda
shalih bernama Rizqaan ini dan juga pemudi shalihah bernama Halimah,
yang nampaknya mempunyai beberapa kesamaan dan idealisme yang membuat
mereka cocok satu sama lain. Rizqaan adalah seorang penuntut ilmu yang
gigih yang langka dimana dikala kalangan pemuda yang lainnya larut dalam
kehidupan dunia muda dengan beragam fenomenanya. Halimah adalah sosok
muslimah yang teguh menjalani fitrahnya menjadi seorang muslimah
kaffah dilingkungan keluarga yang jauh dari nilai agama.
Lembar-lembar kehidupan (dalam beberapa bab)
Dan bab-bab selanjutnya adalah torehan tinta dari perjalanan panjang
dan melelahkan dari babak-babak kehidupan dua orang muda-mudi dalam
mengayuh dayung sebuah biduk kecil bernama rumah tangga yang mereka
bangun dengan dasar ketaqwaan kepada Rabb mereka. Bermacam ujian dan
cobaan yang digambarkan, namun senantiasa dihadapi oleh mereka dengan
suatu sikap yang sudah selayaknya dimiliki oleh seorang muslim. Juga
sampai pada masa-masa cobaan yang mereka sudah bukan dalam bentuk
kesulitan namun justru suatu nikmat yang bisa saja menjerumuskan mereka
ke jurang kenistaan.
Rizqaan memulai perjuangannya memberi nafkah kepada istrinya dengan
mencoba berdagang menjajakan roti dari suatu pabrik dari sedikit modal
yang dimilikinya. Kedua insan ini memulai hidup dalam keprihatinan,
namun mereka tetap sabar dan yakin akan ketentuan yang diberikan Allah
kepada mereka. Dari mulai diceritakan saat-saat mereka hanya makan nasi
putih dengan garam dan bawang goreng, dan bermacam cobaan lainnya.
Berkat kegigihan dan kejujuran Rizqaan dalam berdagang, juga kesabaran
Halimah istrinya untuk menerima keadaan mereka dan keuletannya me-manage
keuangan rumah tangga. Pelan tapi pasti kehidupan keduanya berangsur
membaik. Rizqaan menjadi penjual roti keliling yang sukses, berkat
kejujurannya dan teguhnya memegang prinsip agamanya untuk tidak
berdekatan dengan segala hal yang berbau haram maupun syubhat yang
melingkupi bidang pekerjaannya. Rizqaan adalah tipe pekerja keras, namun
ia bukanlah hamba dunia. Ia bekerja keras untuk mendapatkan dunia,
namun ia berniat menundukkan dunia itu agar menjadi ladang akhirat
baginya. Kehidupan ruhaninya yang dulu pun tak menjadi rusak dikarenakan
kesibukannya mencari harta, bahkan Rizqaan yang hanya lulusan SMA ini
telah menjelma menjadi sosok yang layak menyandang gelar Al-Ustadz.
Kebahagiaan keduanya lengkap tatkala mereka mendapatkan keturunan
dari Allah Ta’ala. Bisnis Rizqaan semakin maju, hingga kini Rizqaan
sudah bukan lagi penjaja roti keliling tapi sudah menjadi seorang
pengusaha roti yang mempekerjakan beberapa karyawan. Omzetnya pun bukan
lagi puluhan ribu seperti ketika awal-awal ia merintis usahanya, namun
sudah menjadi puluhan juta. Kerikil-kerikil tajam sudah barang tentu
menjadi selingan dalam kehidupannya.
Gemuruh prahara
Pada bulan keenam tahun kesepuluh pernikahan mereka adalh puncak
kebahagiaan yang mereka rasakan, tidak ada lagi kesusahan dalam hidup
mereka. Rizqaan sudah menjadi seorang pengusaha sukses. Rumah mereka
bukanlah rumah petak kontrakan ala kadarnya, namun sudah menjadi rumah
mewah dengan pabrik roti di belakangnya.
Akhirnya
memasuki bulan kesebelas kehidupan yang mereka jalani terasa begitu
lambat ketika mereka berusaha untuk mempertahankan kehidupan mereka dan
menunggu hingga saat tiba bagi Rizqaan untuk membuktikan janjinya kepada
mertuanya. Hingga suatu malam tiba, dimana malam itu pada bulan kedua
belas dan hari “H” tinggal hanya dua hari lagi terjadi musibah besar
yang memporak-porandakan kehidupan yang selama ini mereka bagun dengan
susah payah. Kebakaran melanda pabrik dan rumah mereka, hingga
menjadikan ayah Rizqaan meninggal dunia. Belakangan di akhir cerita
diceritakan, bahwa kebakaran tersebut merupakan ulah dari saudara jahat
Halimah yang bernama Asyraf agar ayahnya memenangkan perjanjian dan
Halimah menikah dengan lelaki lain yang lebih kaya.
Badai Susulan
Baru beberapa dua hari berselang dari musibah kebakaran tersebut,
musibah lain datang menyapa. Hari itu adalah hari final dari perjanjian
yang diucapkan Rizqaan saat akad nikah sepuluh tahun yang lalu. Sang
mertua (Bapak Halimah) dengan kejamnya menagih janji dari Rizqaan dan
menyatakan bahwa Rizqaan tidak dapat memenuhi janjinya, karena saat ini
Rizqaan telah menjadi seorang yang bangkrut. Akhirnya dalam pergulatan
batin yang hebat sebagai seorang muslim dan muslimah yang menaati Allah
dan Rasulnya. Mau tak mau mereka harus menepati janji mereka.
“Halimah istriku……..” ujar Rizqaan, dengan napas tercekat.
“Ya, abuya. Kakanda. Suamiku.” Balas Halimah, tak kalah pedihnya.
“Dihadapan Allah. Atas Dasar ketaatan kita kepada-Nya. Dengan harapan
Allah akan memperjumpakan kita di Surga kelak dalam sejuta keindahan
yang melebihi segala yang pernah kita rasakan berdua. Atas dasar cinta
kasih kita yang suci. Atas dasar kepedihan hati yang mendalam, yang
hanya Allah yang mengatahuinya: SAYA MENALAQMU ADINDA.”
Meski tabah, tapi mau tidak mau tangisan Halimah meledak, tak
terbendung lagi. Ia menagis terisak-isak. Ia tak pernah membayangkan,
bahwa kesetiaannya kepada suami akan berujung pada kepedihan seperti
ini. Ya Allah Ya Rabbi. Kami yakin, berkah sesungguhnya adalah pada
cinta-Mu kepada kami. Kami merindukan cinta-Mu. Hati Rizqaan dan Halimah
berbisik lirih.
Lembaran-lembaran baru kehidupan Rizqaan, Halimah dan Nabhaan anak mereka
Pada bab-bab selanjutnya dikisahkan bagaimana Rizqaan merintis
kembali usahanya yang telah hancur dengan sekuat tenaga dan ketabahannya
menghadapi cobaan. Juga dikisahkan bagaimana kehidupan Halimah
selanjutnya selepas menyandang predikat sebagai seorang janda yang
sangat tidak dia harapkan.
Tak lupa bagaimana rintihan
putra mereka Nabhaan yang saat itu berusia delapan tahun ketika
menanyakan kenapa kehidupannya tidak bisa bahagia seperti dulu lagi.
Sampai pada suatu saat, ketika ada seorang duda kaya raya anak seorang
pejabat yang mengutarakan keinginan untuk menikahi Halimah. Dikisahkan
inilah sebab mengapa Asyraf, abang Halimah, melakukan perbuatan keji
merusak kehidupan rumah tangga Rizqaan dan Halimah. Namun entah apa yang
dibicarakan oleh Halimah, duda tersebut dan ayahnya, ketika mereka
berniat melamar Halimah, sehingga menjadikan mererka mengurungkan niat
untuk melamarnya. Saat diceraikan oleh Rizqaan, halimah sedang
mengandung anak kedua mereka, dan saat menjadi janda kondisi kesehatan
Halimah menjadi memburuk dan ternya Halimah telah divonis menderita
leukimia (kanker darah) dengan diagnosa bahwa hidupnya tidak akan lama
lagi. Hari-hari berlalu sampai suatu ketika Ayah Halimah menyadari bahwa
Halimah tidak akan bisa menikah dengan lelaki lain selain Rizqaan.
Ending yang mengharukan
Suatu ketika Halimah dan kedua orang tuanya berkunjung ke rumah Rizqaan yang kini telah mapan kembali.
**************************************
“Kami datang, untuk sebuah keperluan yang mungkin tak pernah kamu
duga ananda. Setelah perdebatan panjang, dan banyak kisah-kisah di
sekitarnya, kami berniat, akan menikahkanmu kembali dengan putri kami,
Halimah…..”
“A….pa…? menikahkanku kembali dengan Halimah” Rizqaan tergagap. Ia
tak mampu berbicara. Ada kelebatan sinar menyapu otaknya. Sehingga ia
nyaris hanya bisa terpaku karena kegembiraan yang tidak terkira.
*************************************
“Abuya….”
“Maaf, aku belum menjadi suamimu lagi….” sela Rizqaan
“Izinkan aku tetap memanggilmu Abuya. Aku tak terbiasa dengan panggilan lain.”
“Baiklah. Ada apa Adinda?”
“Abuya. Apakah abuya siap menikahiku lagi?”
“Adinda Halimah, kenapa aku tidak siap? Dari dulu aku tak pernah
berniat menceraikanmu. Aku senantiasa mencintaimu. Hanya karena kita
bukan suami istri lagi, aku selalu menindih rasa cintaku itu sekuat
mungkin. Tapi bila diberi kesempatan menikahimu lagi, aku tak mungkin
menolak.”
“Meskipun misalnya aku memiliki kekurangan yang tidak kumiliki sebelumnya?”
“Kekurangan apa Adinda?”
“Jawab dulu pertanyaanku.”
“Ya. Aku akan menikahimu dengan segala kekuranganmu yang ada. Selama
itu bukanlah cacat dalam agamamu yang tidak dapat diperbaiki.” Ujar
Rizqaan tegas.
“Abuya. Aku ingin Abuya menikahiku. Karena aku ingin mati dalam
keridhaan seorang suami shalih…..” Halimah berhenti sejenak. Ada
keharuan yang membuatnya tercekat, sehingga sulit bicara.
“Abuya bisa segera menikahiku. Tapi aku tak tahu, apakah keinginan
itu akan tetap ada, setelah Abuya mengetahui kekuranganku sekarang.
Abuya, aku baru saja satu minggu yang lalu melakukan check up. Dan aku
terbukti mengidap leukimia…” sampai disitu, Halimah terisak. Ia tak mapu
melanjutkan bicaranya.
Rizqaan merasa tersentak. Tapi demi Allah, ia tak sedikit pun merasa
sedih. Kegembiraan bisa kembali bersama istrinya, tak bisa terkalahkan
oleh kesedihan atas kondisi Halimah tersebut.
“Dokter mengklain bahwa usiaku tak akan lebih dari 3-4 bulan saja….” kembali Halimah menangis.
“Aku tidak peduli. Umur ada di tangan Allah. Manusia hanya mapu
mengira-ngira. Nyawaku, bisa saja lebih dahulu terenggut daripada
nyawamu. Aku akan segera menikahimu. Biarlah Allah yang menentukan akhir
perjalanan hidup kita. Bagiku, hidup atau mati bersamamu, dalam
“kecintaan” Allah adalah sebuah kenyataan yang paling penuh berkah”.
Rizqaan berbicara dengan kayakinan kokoh membelit jiwanya.
*******************************************
Rizqaan dan Halimah kembali hidup berbahagia. Mereka kembali
mengulang masa-masa penuh keceriaan di antara mereka. Satu bulan
kemudian, anak mereka yang kedua lahir. Ia seorang bayi perempuan yang
cantik. Mirip ibunya, Halimah. Bayi itu dilahirkan dengan cara normal.
Bayi maupun ibunya sama-sama selamat.
*******************************************
Kebahagiaan mereka berlanjut, sampai suatu ketika datang berita bahwa
abang Halimah, Asyraf menjadi buronan polisi dikarenakan kasus narkoba,
dan juga berita tentang dalang penyebab kebakaran yang menewaskan ayah
Rizqaan. Karuan berita itu membuat kegembiraan mereka semua hilang. Ayah
Halimah yang kini menjelma menjadi orang baik hati marah besar kepada
anaknya tersebut. Dan Halimah seketika jatuh pingsan dan sakit.
******************************************
Sore menjelang Maghrib, Halimah terbangun. Disampingnya duduk
Rizqaan. Sementara di depannya, Ayah dan ibunya duduk diatas kursi
plastik. Mereka semua cemas menantikan kesadarannya. Seorang dokter
perempuan –yang sengaja diundang ke rumah- mendekatinya. Memeriksa
nadinya, lalu memberikan suntikan di bagian lengannya.
“A…..Abuya….” Halimah berkata lirih.
“Aku disini Adinda”
“Alhamdulillah. Apakah sudah maghrib? “tanya Halimah.
“Belum. Masih kira-kira sepuluh menit lagi.”
“Abuya…”sapa Halimah pelan.
“Ada apa Adinda.”
“Apakah Abuya masih mencintaiku?”
“Tentu Adinda. Aku selalu mencintaimu karena Allah.”
“Aku juga mencintaimu karena Allah, Abuya.” Halimah diam sejenak lalu ia bertanya lirih.
“Apakah engkau akan tetap bersabar atas segala yang menimpa kita, Abuya?”
“Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar, Adinda….”
“Abuya. Jawablah pertanyaanku.”
“Ya. Apa Adinda?”
“Apakah engkau meridhaiku sebagai Istri?”
“Sudah tentu Adinda. Suami mana pun akan meridhai istri seshaliha
dirimu. Setaat dirimu. Sepatuh dirimu. Kamu bukanlah wanita yang tak
memiliki kekurangan atau kesalahan. Tapi dengan keshalihanmu,
ketaatanmu, kepatuhanmu, aku senantiasa ridha terhadapmu…..”
“Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shaalihaat. Aku ingin termasuk di antara wanita yang disebutkan dalam Hadits.”
“Bagaimana itu Adinda?”
أًَيُّمَا امْرَ أًَ ة مَا تَتْ وَ زَ جُهَا عَنْهَا رَا ض د خَلَت الْجَنَّهَ
“Wanita mana pun yang meninggal dunia sementara suaminya ridha kepadanya, ia pasti masuk surga.”
Halimah mengucapkan Hadits itu sedemikian fasihnya. Arab, berikut terjemahannya.
“Semua wanita shalihah, mengidamkan hal itu Adinda, dengan izin Allah, Adinda akan termasuk di dalamnya.”
“Allahumma amien. Abuya, sekarang aku puas. Apaun yang terjadi atas
diriku, kini aku sudah kembali menjadi istrimu. Aku telah berdo’a setiap
malam, agar aku bisa berdampingan dengan suami yang shalih. Sehingga
kalaupun mati, aku akan mati dengan keridhaan Allah kemudian dengan
keridhaan suamiku…..” Halimah berhenti sejenak.
“Abuya, betapa indahnya bila Allah betul-betul mencintai kita. Aku
ingin dengan cinta-Nya, kita berdua menuai bahagia seutuhnya.
Kebahagiaan yang bukan Cuma di dunia, tapi juga di akhirat.”
Halimah menghela nafasnya yang terasa begitu berat.
“Abuya bila aku sudah tiada, berjanjilah untuk senantiasa berjalan di
atas ajaran Allah. Didiklah anak kita, dan berbaktilah kepada orang
tua….”
“Jangan berkata begitu Adinda….” Rizqaan menyela.
Halimah memberikan isyarat dengan tangannya, agar Rizqaan tidak bertanya apa-apa.
“Berjanjilah Abuya…..”
“Aku berjanji Adinda. Tanpa berjanji pun, ketaatan kepada Allah
adalah janji seluruh manusia saat mereka berada dalam perut ibu
mereka….” ujar Rizqaan.
“Alhamdulillah…….”
“Abuya….tabir itu mulai terbuka…..Aku mencintaimu, Abuya. Abuya tak
perlu meragukan cintaku. Tapi aku lebih merindukan Allah. Bila ini
kesempatanku bersua dengan-Nya. Aku tidak akan menyia-nyiakannya sedikit
pun…….”
“Adinda….”
“Laa ilaaaha illallah…muhammadurrasulullah……”
“Adinda….”
“Laa ilaaaha illallah…muhammadurrasulullah……”
“Laa ilaaaha illallah…muhammadurrasulullah……”
“Laa ilaaaha illallah…muhammadurrasulullah……”
Suara tahlil itu semakin lembut dan syahdu dari mulut Halimah. Terus
menerus. Semakin lama, semakin lemah. Namun semakin syahdu. Sampai
akhirnya suara terakhir terdengar, masih sama
, “Laa ilaaaha illallah…muhammadurrasulullah……”
Usai berakhirnya suara itu, nafas Halimah terhenti. Di tengah
keheningan kamar di rumah mereka, yang masih tercium bau catnya. Karena
belum lama dibangun Halimah mengehembuskan nafas terakhirnya. Sang ibu
menjerit. Sang bapak menangis. Rizqaan juga tak kuasa menahan air
matanya yang tiba-tiba mengalir deras. Pernikahannya dengan Halimah yang
merupakan masa kembalinya kebahagiaannya yang beberapa saat nyaris
lenyap, kini nyaris terenggut kembali. Tapi kepergian Halimah dengan
kondisi yang menyemburatkan aurat Surga, membuat hatinya terasa nyaman.
Ia bersedih, tapi juga berbangga dengan istrinya. Kesedihannya pupus
perlahan karena rasa bangga bercampur rasa iri yang menyejukkan jiwanya.
Betapa berbahagia Halimah.
Tak lama kemudian, adzan maghrib terdengar. Mereka mendengarkannya
dengan khusyu’. Saat lantunan adzan berhenti, Ayah Halimah mendekati
Rizqaan. Ia manatap menantunya yang sekian lama ia kecewakan. Sekian
lama ia perangkap dalam kesukaran dan penderitaan. Pria yang –dengan
seizin Allah- telah mengubah wujud putrinya, sehingga menjelma menjadi
wanita shalihah begitu setia pada kebenaran. Ia menatap pemuda itu. Air
matanya menetes tak terbendung. Penyesalan membuncah sehingga nyaris
membakar otak. Ia nyaris bisu dalam suasana hati yang kuyup penyesalan.
“Duhai, seandainya aku masih memilki putri yang lain. Pasti aku akan
menikahkannya denganmu, ananda.” Ujar ayah Halimah kepada Rizqaan.
“Halimah sudah cukup bagiku pak. Nikahkanlah aku kembali dengan putrimu itu pak.”
“Aku sudah melakukannya dua kali ananda…..”
“Cobalah untuk yang ketiga kalinya pak…”ujar Rizqaan lirih.
“Itu bukan lagi hakku ananda. Biarlah Allah yang akan menikahkanmu
dengannya di Surga kelak. Relakanlah kepergiannya saat ini. Semua kita
toh pasti akan mati juga. Gapailah Surga dengan amal ibadahmu. Dengan
ketulusan hatimu. Hanya dengan itu Allah akan berkenan mempertemukanmu
kembali dengannya…..”
Rizqaan tersenyum.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
وَادْخُلِي جَنَّتِي
Hai jiwa yang tenang
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku,
masuklah ke dalam syurga-Ku.
****************************************
Buku ini saya baca ba’da zhuhur dan selesai menamatkan lembar demi
lembar halaman penuh hikmahnya selepas ashar. Sungguh saya berarti telah
membohongi diri sendiri bila tidak menitikkan air mata terhanyut dalam
episode perjalanan kehidupan anak manusia yang
subhanallah sangat layak dijadikan bahan pelajaran ini.
Wahai saudara-saudariku seiman, saya tidak akan mengingkari bahwa
novel, cerpen, dan cerita berlabel Islami lainnya dapat diambil
hikmahnya. Bahkan menurut kalian hal itu bisa dijadikan sarana dakwah
kepada orang-orang yang belum mengenal Islam dengan sekelumit
kaidah-kaidah syar’iyah di dalamnya. Tidak wahai saudara-saudariku, saya
juga pernah terlarut di dalam menikmati beragam karya sastra tersebut,
bahkan dari pengarang kafir dan atheis sekalipun saya pernah
menikmatinya. Tetapi sekali lagi, tujuan tidaklah menghalalkan cara, dan
kebaikan tidak akan diperoleh dengan jalan yang bathil. Maafkan saya,
dalam hal ini saya tidak sependapat dengan kalian, karena hal ini telah
jelas seperti layaknya sinar mentari yang terang benderang yang
menerangi suatu jalan yang lurus.
Resensi selesai dibuat selepas Isya’ 22 Rajab 1429 H