MASALAH nyanyian atau musik dalam Islam seringkali
menjadi kontroversi. Ada yang membolehkannya secara terbatas,tapi ada
pula yang mengharamkannya secara mutlak. Bagaimana hukum nyanyian dan
musik dalam Islam? Adalah Dr Abdurrahman Al Baghdadi menguraikan dengan
lugas dan jelas masalah ini. Tulisan ini, merupakan ringkasan bukunya ‘Seni dalam Pandangan Islam’.
Pakar Fikih Islam ini menuliskan dalil-dalil dari kalangan ulama baik
yang mengharamkan maupun yang membolehkan. Kemudian ia mentarjihnya dan
mengambil kesimpulan. Ia berkesimpulan bahwa bagi yang telah mengkaji
serius masalah hukum musik ini dan menarik suatu kesimpulan, maka itu
menjadi hukum syara’ baginya. Apakah itu haram, makruh atau mubah.
Dengan kata lain, seorang mujtahid terikat dengan ijtihadnya, begitulah
kaidah ushul menyatakan.
Mereka yang mengharamkan nyanyian dan
musik ini diantaranya adalah Imam Ibnu al Jauzi, Imam Qurthubi dan Imam
asy Syaukani. Sedang yang membolehkan musik adalah Imam Malik, Imam
Ja’far, Imam al Ghazali dan Imam Daud azh Zhahiri.
Masing-masing mereka menggunakan dalil al Qur’an dan Hadits. Kalangan yang mengharamkan di antaranya menggunakan dalil:
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُهِينٌ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna (lahualhadits) untuk menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokkan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS: Luqman 6)
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
“Dan bujuklah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan suaramu (shautika).” (QS: al Isra’ 64)
Dan juga beberapa hadits Rasulullah saw:
“Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang
menghalalkan zina, sutra, arak dan alat permainan (musik). Kemudian
segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi.
Lalu para penggembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan
tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta
sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata,”Datanglah kepada kami esok
hari.” Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan
bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam
tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat.”
(HR Bukhari).
“Pada umat ini berlaku tanah longsor, pertukaran
rupa dan kerusuhan.” Bertanya salah seorang diantara kaum
Muslimin,”Kapankah yang demikian itu terjadi, ya Rasulullah?” Beliau
menjawab,”Apabila telah muncul biduanita, alat-alat musik dan minuman
arak di tengah-tengah kaum Muslimin.”
Sedangkan ulama yang membolehkan nyanyian dan musik ini menggunakan dalil:
إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“…dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah bunyi keledai.” (QS: Luqman 19)
Imam
Ghazali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum mukhalafah. Allah SWT
memuji suara yang baik. Dengan demikian dibolehkan mendengarkan
nyanyian yang baik. (Ihya’ Ulumudddin, juz VI, jilid II, hal. 141).
Hadits Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain dar Rubayyi’ binti Muawwiz Afra:
“Rubayyi’
berkata bahwa Rasulullah saw datang ke rumah pada pesta pernikahannya.
Lalu Nabi saw duduk di atas tikar. Tak lama kemudian beberapa orang dari
jariah (wanita budak) nya segera memukul rebana sambil memuji-muji
(dengan menyenandungkan) orang tuanya yang syahid di medan perang Badar.
Tiba-tiba salah seorang dari jariah berkata,”Diantara kita ini ada Nabi
saw yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada esok hari.” Tetapi
Rasulullah saw segera bersabda,”Tinggalkanlah omongan itu. Teruskanlah
apa yang kamu (nyanyikan) tadi.”
Hadits Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra:
“Pada
suatu har Rasulullah saw masuk ke tempatku. Ketika itu di sampingku ada
dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang
hari Buats). Kulihat Rasulullah saw berbaring tapi dengan memalingkan
mukanya. Pada sat itulah Abu Bakar masuk dan ia marah kepadaku.
Katanya,”Di tempat/rumah Nabi ada seruling setan?” Mendengar seruan itu
Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar seraya berkata,
“Biarkanlah keduanya, hai Abu Bakar.”
Tatkala
Abu Bakar tidak memperhatikan lagi maka aku suruh kedua budak perempuan
itu keluar. Waktu itu adalah hariraya dimana orang-orang Sudan sedang
menari dengan memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di
dalam masjid).”
Hadits riwayat Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim
dari Aisyah ra. Katanya,”Aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan
seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Maka Nabi saw bersabda,
“Hai Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshar senang dengan hiburan (nyanyian).”
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad terdapat lafaz:
“Bagaimana
kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang) wanita untuk bernyanyi
sambil berkata dengan senada: “Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan
kami pun menghormati kamu.Sebab kaum Anshar senang menyanyikan (lagu)
tentang wanita.”
Karena itu, menurut Dr Abdurrahman al Baghdadi:
“Bertolak
dari dasar hukum inilah maka mendengar atau memainkan alat-alat musik
atau menyanyi mubah selama tidak terdapat suatu dalil syar’I yang
menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut haram atau makruh. Mengenai
menyanyi atau memainkan alat musik dengan atau tanpa nyanyian, tidak
terdapat satu pun nash, baik dari Al Qur’an maupun sunnah Rasul yang
mengharamkannya dengan tegas. Memang ada sebagian dari para sahabat,
tabiin dan ulama yang mengharamkan sebagian atau seluruhnya karena
mengartikannya dari beberapa nash tertentu. Diantara mereka ada yang
menyatakan bahwa hal tersebut makruh, sedangkan yang lain mengatakan
hukumnya mubah.
Adapun nash-nash (dalil-dalil) yang dijadikan
alasan oleh mereka yang mengharamkan seni suara dan musik bukanlah
dalil-dalil yang kuat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak ada
satu dalil pun yang berbicara secara tegas dalam hal ini. Dengan
demikian tidak ada seorang manusia pun yang wajib diikuti selain dari
pada Rasulullah saw. Beliau sendiri tidak mengharamkannya. ..Oleh karena
itu Imam Abu Bakar Ibnul Arabi (dalam Ahkamul Qur’an jilid
III, hal. 1053-1054) menyatakan: “Tidak terdapat satu dalil pun di dalam
Al Qur’an maupun Sunnah Rasul yang mengharamkan nyanyian. Bahkan hadits
shahih (banyak yang) menunjukkan kebolehan nyanyian itu. Setiap hadits
yang diriwayatkan maupun ayat yang dipergunakan untuk menunjukkan
keharamannya maka ia adalah bathil dari segi sanad, bathil juga dari
segi I’tiqad, baik ia bertolak dari nash maupun dari satu penakwilan.”
Tentang
surah Luqman ayat 6 yang dijadikan dalil untuk haramnya nyanyian,
menurut pakar fiqh yang bukunya puluhan ini, ayat itu tidak terkait
dengan nyanyian. “Tetapi ayat tersebut berkaitan erat dengan sikap
orang-orang kafir yang berusaha menjadikan ayat-ayat Allah SWT sebagai
sendau gurau,”terangnya.
Sedangkan tentang hadits Imam Bukhari,
menurut Dr Abdurrahman : “…maksud hadits Imam Bukhari tersebut jatuh
pada segolongan orang-orang dari kaum Muslimin yang berani menghalalkan
pengggunaan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah digariskan
syara’. Misalnya memainkannya di tempat umum (televisi, stadion, atau
panggung-panggung pertunjukan terbuka lainnya), bukan di tempat dan
acara khusus, seperti pada acara pesta pernikahan, di rumah-rumah.
Dengan kata lain, syara’ membolehkan biduanita budak menyanyi untuk
pemiliknya dan atau para wanita lainnya dalam acara pernikahan. Boleh
saja salah seorang diantara anggota keluarga pengantin ikut bernyanyi,
tetapi syara’ tidak membolehkan ada penyanyi wanita bayaran sebagaimana
yang umum terjadi sekarang ini.”
Meski demikian tidak boleh
wanita yang mengadakan pertunjukan itu membuka auratnya, berkumpul bebas
laki-laki dan perempuan, membuat suara-suara yang merangsang dan
lain-lain.
Imam Ibnu Hazm menyatakan:
“Jika belum ada
perincian dari Allah SWT maupun RasulNya tentang haramnya sesuatu yang
kita bincangkan di sini (dalam hal ini adalah nyanyian dan menggunakan
alat-alat musik), maka telah terbukti bahwa ia adalah halal atau boleh
secara mutlak.”
Meski demikian, Dr Abdurrahman membagi nyanyian
ke dalam dua jenis. Nyanyian haram dan nyanyian halal. Nyanyian haram,
nyanyian yang disertai dengan perbuatan haram atau mungkar, semisal
minuman khamr, menampilkan aurat wanita atau nyanyiannya berisi syair
yang bertentangan dengan aqidah atau melanggar etika kesopanan Islam.
Contoh untuk ini adalah syair lagu kerohanian agama selain Islam, lagu
asmara, lagu rintihan cinta yang membangkitkan birahi, kotor dan porno.
Tak peduli apakah nyanyian itu berbentuk vocal atau diiringi dengan
musik, baik yang dinyanyikan laki-laki atau wanita.”
Sedangkan
nyanyian halal (baik diikuti alat musik atau tidak –pen), adalah
nyanyian yang syairnya membangkitkan semangat perjuangan (jihad), atau
nyanyian yang syairnya menunjukkan ketinggian ilmu para ulama dan
keistimewaan mereka, atau nyanyin yang yang memuji saudara-saudara
maupun sesama teman dengan cara menonjolkan sifat-sifat mulia yang
mereka miliki, atau juga nyanyian yang melunakkan hati kaum Musimin
terhadap agama atau yang mendorong mereka untuk berpegang teguh kepada
ajaran-ajaran Islam dan bahaya yang akan menimpa orang yang
melanggarnya. Begitu pula macam-macam nyanyian yang membicarakan
tentang keindahan alam atau yang membicarakan tentang persoalan ilmu,
menunggang kuda dan lain-lain.
Selain itu nyanyian halal tidak
boleh diikuti dengan hal-hal yang haram. Tidak diisi dengan kata-kata
yang memuji kecantikan wanita, kata-kata yang mengajak pacaran, main
cinta/asmara atau disertai dengan mabuk-mabukan, diadakan di
tempat-tempat maksiyat atau bercampurnya laki-laki dan perempuan, klub
malam, diskotik dan lain-lain.
Meski penulis membolehkan
mendengarkan ‘lagu-lagu asmara’ asal tidak mengganggu jiwa dan pikiran
pendengarnya (beda antara menyanyikan/membuat dan mendengarkan dalam
rekaman), tapi penulis mengharapkan Negara melarang nyanyian-nyanyian
seperti itu, yang dapat membahayakan jiwa para remaja. Selain itu Negara
harus melakukan beberapa hal:
1. Melarang setiap nyanyian,
rekaman dan tarian yang mengajak orang untuk minum arak, bergaul bebas,
berpacaran, bermain cinta atau bunuh diri karena putus asa.
2.
Melarang setiap nyanyian dan tarian yang disertai dengan omongan kotor
dan cabul yang mengarah kepada perbuatan-perbuatan dosa atau
membangkitkan birahi seksual.
3. Melarang setiap nyanyian
dan tarian yang disertai dengan perbuatan-perbuatan haram, seperti minum
khamr, percampuran antara lelaki dan wanita.
4. Lagu-lagu
dan kaset-kaset Barat dilarang beredar dan para penyanyinya tidak
diijinkan melakukan pertunjukan (show) di negeri-negeri Islam.
5.
Setiap tempat pertunjukan untuk menyanyi dan menari, seperti klub
malam, bar dan diskotik harus ditutup dan tidak diberi ijin membukanya
oleh pemerintah. Begitu pula halnya dengan panggung-panggung terbuka.
Dll.
Dari Arab ke Eropa
Yang menarik penulis juga menyajikan sedikit tentang sejarah musik.
Menurut Dr Abdurrahman, khilafah Islam terdahulu tidak pernah melarang
rakyatnya mempelajari seni suara dan musik. Mereka dibiarkan mendirikan
sekolah-sekolah musik dan membangun pabrik alat-alat musik. Mereka
diberikan gairah untuk mengarang buku-buku tentang seni suara, musik dan
‘tari’.
Perhatian kea rah pendidikan musik telah dicurahkan sejak akhir masa
Daulah Umawiyah yang kemudian dilanjutkan pada masa kekhilafahan
Abbasiyah. Sehingga di berbagai kota banyak berdiri sekolah musik dengan
berbagai tingkat pendidikan, mulai dari tingkat menengah sampai ke
perguruan tinggi. Pabrik alat-alat musik dibangun di berbagai negeri
Islam. Sejarah telah mencatat bahwa pusat pabrik pembuatan alat-alat
musik yang sangat terkenal ada di kota Sevilla (Andalusia atau Spanyol).
Catatan
tentang kesenian umat Islam begitu banyak disebut orang. Para penemu
dan pencipta alat musik Islam juga cukup banyak jumlahnya, yang muncul
sejak pertengahan abad kedua hijriah, misalnya Yunus al Khatib yang
meninggal tahun 135H. Khalil bin Ahmad (170H), Ibnu an Nadiem al
Naushilli (235H), Hunain ibnu Ishak (264H), dan lain-lain.
Bahkan dalam buku ‘Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan’ (Islamic and Arab Contribution to the European Renaissance) karya
Komisi Nasional Mesir untuk Unesco (Penerbit Pustaka, 1986), disebutkan
tentang berbagai pengaruh peradaban Islam ini ke Eropa. Termasuk bidang
seni dan musik.
“Musisi Eropa dikirimkan ke ibukota-ibukota Arab untuk mempelajari
ilmu dan seni di lembaga-lembaga dan universitas Arab. Musik menempati
tempat utama diantara seni-seni dan ilmu-ilmu yang mereka pelajari.
Karya-karya Al Kindi diterjemahkan, begitu pula karya Tsabit ibn Qurra,
Zakaria al Razi, al Farabi, Ikhwan al Shafa, Ibn Sina, Safiuddin al
Ma’mun al Aramawi, Ibn Bajjah (Avenpace) dan lain-lain…Mereka membawa
pulang ke negerinya seni musik dan alat-alat musik Arab tu, yang menjadi
fondasi pertama bagi Renaissance dalam bidang seni di Eropa. Ilmu musik
Arab dapat dianggap sebagai obor yang menerangi jalan bagi seni Eropa
pada masa itu,”tulis Dr Mahmud Ahmad al Hifni dalam buku itu.
Lebih
lanjut ia menyatakan: “Peradaban Arab (Islam –pen) mempesona para
pemuda dan kaum intelektual Eropa sedemikian rupa sehingga seorang
pendeta dari Kordoba pada abad ke 9M dilaporkan sebagai telah mengeluh
bahwa pemuda-pemuda Kristen lebih tertarik kepada bahasa Arab daripada
bahasa Ltin, bahasa budaya di Eropa pada masa itu. Selain itu, mereka
juga menyanyikan nyanyian-nyanyian Arab dalam perkumpulan-perkumpulan
dan pertemuan-pertemuan social mereka.” (hlm. 380).
Dr Mahmud
melanjutkan: “Banyak instrumen Arab lainnya yang diimpor oleh Eropa.
Lengkap dengan nama Arabnya, seperti quittara (guitar), nacaire atau
naker (keledrum), adufe (tambourine), Sonja (cymbals), anafil (born,
dari kata Arab qarn), table atau taber (drum) dan echiquier yang
dipandang oleh ahli-ahli musik Eropa sebagai tahap pertama dalam
perkembangan piano.”
Memang peradaban Islam saat itu yang tinggi
di dunia Arab dan Andalusia membuat Eropa banyak belajar kepada
orang-orang Islam baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun budaya,
termasuk seni musiknya. Sayangnya kini musik sudah banyak melenceng jauh
dari Islam. Musik tidak digunakan lagi sebagai alat dakwah, alat jihad
atau alat untuk lebih mencintai Allah-RasulNya, mencintai ilmu dan
seterusnya, Tapi musik sekedar untuk hura-hura belaka dan bahkan banyak
yang menyeleweng dari kaidah-kaidah Islam.
Karena itu, saatnyalah
kini kaum Muslim mengembalikan musik ini kepada kaidah-kaidah Islam.
Sehingga muncul musisi atau musik yang bernafaskan Islam. Wallaahu A’lam
Bishawab.*
Penulis adalah Dosen STID Moh Natsir, Jakarta
web source: http://www.hidayatullah.com/read/24752/12/09/2012/musik-dalam-islam:-bolehkah?.html
Kamis, 14 Februari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Naga adalah sebutan umum untuk makhluk mitologi yang berwujud reptil berukuran raksasa. Makhluk ini muncul dalam berbagai kebudayaan. Pada...
-
yoho amigo... well di postingan kali ini ane akan mengajak amigoz memasuki dunia ane yang penuh dengan hal" yang mungkin dianggap remeh...
-
amigoz, pasti sering melihat keatas kan. saat malam hari dengan bulan purnama merupakan saat yang paling tepat. tapi tahukah kalian pendamp...
-
yoho amigoz.... waah, ane dah lama ga buka ni blog... well it's time to back on blogiloggers.... hehehe oke amigoz, kali ini ane mau ba...
-
oke amigos.... di postingan kali ini, saya akan mencoba (maklum, masih baru) untuk meresensi sebuah buku berjudul " Beyond The Inspirat...
1 comments:
Musik (semua alat musik dan notasinya) adalah karya kejayaan umat Islam 700-1400M di andalusia (spanyol), termasuk ilmu lain seperti aljabar, alchemi, kedokteran dll diakui sebagai penemuan orang eropa (spanyol) padahal spanyol ketika itu masih muslim. Saatnya kita kembalikan ke fitrah yang sebenarnya, dengan tidak mengatakan hal yang halal sebagai haram.
Posting Komentar